Ilustrasi. (Foto: istock.com) |
Penulis : Aditya Andyka
Blaarr…
Bledarr…
Aksa jarak bagi dua atma laksana bumantara dan jumantara. Duhai nun kau apakah sama merasakan renjana disini?
MAYANTARA- Bagaimana perasaanmu setelah membaca penggalan cerita di atas? Terasa puitis dan menjiwai dengan membayangkan situasi yang terjadi pada tokoh yang ditulis sang pengarang.
Namun tahukah kamu bahwa rupanya dalam menulis banyak sekali rintangan juga tantangan selain teman utama yang sering dijumpai bagi penulis adalah block writer.
Bagi kamu yang terbiasa membaca sastra, baik cerpen, novel, sajak, ataupun puisi, tentu sudah tidak asing dengan konsep atau gaya bahasa seperti contoh di atas. Dengan menambahkan ilustrasi suara, diharapkan mampu membawa masuk pembaca pada dunia yang kita bangun dalam cerita. Juga ketika kamu membaca puisi dengan istilah atau kosakata yang menggunakan bahasa lama, seakan kamu memasuki dunia pada zaman Majapahit, atau sedang duduk bersama dengan Mpu Tantular di pinggir sungai.
Tapi siapa sangka, tantangan penulis selain mampu membawa masuk pembaca ke dunia yang ia tulis, namun bagaimana ia menyampaikannya. Beberapa hal yang kita anggap biasa dan keren justru bisa dipandang aneh bahkan lebay bagi sebagian orang.
Yap, peniruan suara dan penggunaan bahasa lama yang sering kita jumpa dalam berbagai tulisan. Dengan menulis bunyi suara tertentu akan membuat pembaca dapat mempertajam imajinasinya, juga penggunaan bahasa lama yang dapat memperkaya kosakata serta memberikan nuansa yang lebih puitis di dalamnya. Kedua gaya bahasa tersebut sering kali digunakan dan banyak yang 'terjebak' sehingga karya yang seharusnya bagus justru malah dinilai miring.
Kita bahas jebakan yang pertama dulu. Diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, peniruan bunyi suara disebut dengan Onomatope. Benar sekali, tulisan ilustrasi suara yang kita temui disebut dengan Onomatope.
Secara bahasa, Onomatope berasal dari bahasa Yunani yaitu onoma dan poieo yang berarti kata tiruan bunyi. Onomatope dapat berasal dari apapun yang menghasilkan bunyi, seperti suara hewan, manusia, benda, juga kejadian sesuatu seperti ledakan, guyuran, dan lain sebagainya.
Onomatope digunakan untuk menambah efek suara pada tulisan. Dengan Onomatope, penulis dapat mengilustrasikan suara pada pembaca. Pecahan kaca, suara pintu terbuka, langkah kaki berjalan, dan sebagainya. Kendati demikian, ada satu nilai menjadi kurang apabila penulis terlalu 'kreatif' dengan Onomatope yang banyak.
Apa itu? Kebebasan pembaca dalam menginterpretasikan imajinasi mereka.
Dee Lestari mengungkapkan dalam blog-nya, bahwa seorang penulis itu menulis semua tapi tidak semuanya. Percayakan kemampuan pembaca dalam mengimajinasikan semua hal yang penulis buat. Biarkan mereka mengimajinasikan sesuai inspirasi atau representasinya. Tidak perlu "dag dig dug" untuk menjelaskan seseorang sendirian di gang sempit yang gelap.
Lagi-lagi biarkan mereka membayangkan sendiri bagaimana situasinya dengan penjelasan detail dari penulis.
Mari kita bandingkan dua contoh berikut:
Entah dengan cara apalagi aku harus berusaha. Sudah 2 jam aku berdiam di ruang kubus kecil ini. Arrgghh. Kepalaku pening memikirkan usaha membebaskan diri dari cengkraman bandit sialan itu. Mataku nanar menatap dinding kelabu yang seakan mengejek keputusasaanku.
Dag…
Bug…
Aku menendang sisi ruang dengan kesal. Entah dengan cara apalagi aku harus berusaha agar bisa bebas dari cengkraman bandit sialan itu. Lebih enak yang mana? Onomatope tidak dilarang dalam cerita, tapi buatlah seminimal mungkin agar dapat menjaga imajinasi pembaca sesuai representasinya masing-masing.
Jebakan kedua adalah penggunaan bahasa lama atau disebut bahasa arkais. Sering kali pembaca salah kaprah dalam memahami bahasa lama ini.
Bahasa lama adalah bahasa atau kosakata yang sudah digunakan lagi oleh orang banyak karena sudah tidak relevan atau ada bahasa yang lebih mudah lagi. Bahasa arkais atau lama di Indonesia kebanyakan berasal dari bahasa Sansekerta. Contohnya adalah bumi yang dalam bahasa Sansekerta adalah bumantara, atau renjana yang memiliki arti rindu, atau atma yang memiliki arti jiwa.
Sebuah puisi tidak akan terlalu menarik apabila terlalu banyak menggunakan diksi atau kosakata yang tidak familiar oleh pembacanya. Seperti sebuah makanan yang terlalu banyak isian, akan kesulitan untuk menikmati atau mengidentifikasi rasanya. Penggunaan bahasa arkais dibolehkan asal dengan porsi yang sesuai. Dalam satu bait tidak selalu harus ada semua, biarkan kata ditafsirkan dengan harfiah atau pengandaian yang sesuai.
Lalu bagaimana mengantisipasinya? Gunakan majas yang telah kita pelajari di bangku sekolah untuk mengubah beberapa kata agar lebih menjiwai tema yang kita tentukan. Seperti majas perbandingan, penegasan, sindiran, dan lainnya yang dapat kita pelajari dengan mudah di internet.
Kembali kita perhatikan contoh di bawah:
Rembulan yang menggenggam gelap dalam damai
Setitik atma yang bersandar pada kerinduan
Pohon mahoni itu menjadi saksi ketabahannya
Purnama yang menggenggam gelap dalam nirwana
Setitik atma yang bersandar pada renjana
Pohon mahoni menjadi netra atas tabahnya.
Nah? Bagaimana? Apakah sudah ada pencerahan dan ide baru bagi kalian? Sastra adalah makhluk yang dinamis mengikuti perkembangan zamannya. Laksana kuda yang dikuasi oleh penunggangnya dan makhluk yang tercipta akan dinilai indah apabila kita mampu membuat racikan dan komposisi yang pas untuk mereka.***