LPM Mayantara

LPM Mayantara

Dear Pemerintah, Kapan Kita Punya Nomor Darurat Secepat 911?

Ilustrasi penanganan darurat 911. (Foto:pixabay.com)

KONTEN OPINI

Editor: I.K Nino Sativara | Penulis : Aura Jiwa Insani (Sukarelawan SAR Surakarta)

MAYANTARA- Sebagai individu yang pernah menjadi sukarelawan di bidang penanggulangan bencana, saya memang agak gatal setelah melihat realita di lapangan mengenai performa pelayanan kedaruratan kita. Meski tak semuanya buruk, tetapi tetap saja masih ada kelemahan dalam pelayanan kedaruratan di Indonesia. Salah satunya adalah lambatnya respon nomor darurat yang sering dikeluhkan masyarakat.

Beberapa kali saya ikut menangani kejadian emergency, ada saja masyarakat yang berceloteh tentang lambatnya respon telepon darurat dari operator layanan tersebut. Bahkan saya sendiri mengalami ketika pandemi melanda beberapa waktu lalu. Seorang saudara tiba-tiba menghampiri saya dan meminta tolong untuk mengecek keadaan salah satu anggota keluarganya yang kesulitan bernapas. Naas, saat saya tiba anggota keluarga tersebut telah meninggal dunia.

Sebagai potensi relawan yang pernah mendapatkan pendidikan, tentu saya tidak bisa begitu saja menyatakan kondisi kematian seseorang. Dalam disiplin kami, yang bisa memastikan kondisi hidup atau mati seseorang adalah tenaga kesehatan, dalam hal ini dokter.  Tentu saja saya menghubungi puskesmas terdekat untuk mengirim tenaga kesehatan sekaligus ambulans. Pertimbangan saya waktu itu juga karena kondisi pandemi yang masih mewabah.

Namun puskesmas tidak dapat mengirim, alasannya karena ambulans sedang dipakai imunisasi. Tidak putus asa, saya mencoba menghubungi nomor PSC 119. Namun yang bikin geram, nomor hanya berdering dan tidak ada jawaban. Saya bahkan mencobanya berulang kali mirip seperti nge-spam pacar yang lagi bete.  Tak ambil pusing, saya mencoba alternatif lain dengan menghubungi rekan yang bekerja di dinas kesehatan. Berhasil terhubung, namun lagi-lagi ambulans sedang dipakai untuk penyuluhan.

Dipuncak kegeraman dan emosi, saya memutuskan untuk menelpon PMI. Responnya cukup cepat, namun seluruh ambulans PMI waktu itu ternyata sedang dalam tugas pengantaran pasien. Untuk alasan ini saya masih mentoleransi. Setidaknya kecepatan penerimaan telepon masih cukup untuk melipur kegentingan yang sedang terjadi.

Diluar kejadian yang menimpa saya pribadi, banyak testimoni dari rekan-rekan yang juga mengeluhkan lambatnya respon layanan nomor darurat, dalam hal ini milik pemerintah. Selain lambat, banyak nomor darurat yang harus dihapal seperti 110 untuk polisi, 113 untuk damkar, 119 public safety center, dan sebagainya. Itupun tidak fast respon. Saya kadang terpikir kenapa pemerintah tidak menggabungkan semuanya itu dalam layanan satu pintu, seperti 911 milik Amerika?.

Kita mungkin sering melihat di televisi maupun di YouTube, bagaimana kecepatan respon 911. Sampai-sampai banyak percakapan 911 yang direkam dan dijadikan konten horor di media sosial. Tapi ini bukan soal konten, ini soal kecepatan respon layanan darurat milik pemerintah.

Setiap kondisi emergency, tentu tidak semua orang betul-betul siap. Kepanikan adalah hal yang paling sering melanda. Saya yakin, kalau pemerintah bisa membuat nomor darurat yang user friendly dan mudah untuk diingat, tentu kejadian yang menimpa saya tidak akan terulang lagi.

Memang saat ini sudah banyak organisasi kerelawanan yang menyediakan layanan darurat seperti ambulans, dan penanganan emergensi lain. Ironisnya, justru nomor darurat milik organisasi kerelawanan (non-pemerintah) inilah yang performanya cukup baik. Organisasi kerelawanan berdasarkan rasa sukarela dan terkadang sangat bergantung pada donatur. Masyarakat tidak bisa seratus persen bergantung pada mereka secara terus menerus. Tentu tanggung jawab utama tetap pada pemerintah. Keberadaan relawan, hanya untuk membantu dan sebagai bentuk derma dari masyarakat untuk masyarakat.

Kita mungkin pernah mendengar adanya aplikasi panic button yang dibuat oleh beberapa instansi. Meski bisa dibilang inovasi yang cukup baik, namun tak jarang keberadaannya hanya sekejap belaka. Itupun memiliki kelemahan karena memerlukan sambungan internet dan sangat bergantung pada sinyal data. Ada pula nomor-nomor darurat dengan kode wilayah yang digitnya banyak. Ini juga menjadi kendala karena sulit diingat dan terkadang tidak semua orang mau menyimpan di hape mereka.

Satu-satunya cara paling ideal menurut saya adalah membuat nomor darurat sama seperti 911, yang ringkas, singkat, mudah diingat, mudah dihubungi, dan tentunya solutif. Mungkin pemerintah bisa bikin 123, atau 811, atau apapunlah nomernya yang penting digitnya tidak banyak dan mudah diingat. Selain itu, harus ada operator yang siaga 24 jam, dan sat-set untuk menerima segala keluhan.

Dari satu nomor, operator tinggal mengklasifikasi informasi kedaruratan sesuai keluhan masyarakat. Misalnya dapat keluhan adanya maling, tentu operator tinggal mengirim data awal ke kepolisian, dan mengirim petugas ke lokasi. Atau bila ada kecelakaan, sekali laporan masuk, operator bisa langsung mengirim ambulans sekaligus polisi ke TKP.

Yang terakhir, nomor ini dapat dihubungi dari manapun dan tanpa perlu memasukkan kode wilayah. Misal warga Pekalongan lagi dolan ke Bali, tentu gak usah repot googling dan nginput kode 0361 waktu mau telpon saat menemui kondisi darurat. Intinya, memangkas segala kerepotan bin keribetan yang ada. Dengan satu nomer, semua masalah terselesaikan.***