Ilustrasi cerpen Baret, Cerutu, dan Lars. (Foto: pixabay.com) |
Editor : Imam Hadi Santoso | Penulis : IKN Sagara
MAYANTARA- Suara desing senapan mesin, ledakan bom, dan teriakan yel-yel serdadu baru, sepertinya sudah akrab di telinga Daslan yang sejak 12 tahun lalu memutuskan menjadi seorang militer.
Namun pagi itu memang aneh. Perintah tiba singkat; seragam
loreng, baret, suspender dahrim, dan senapan perorangan. Tidak ada keterangan
rinci lain, selain memang harus menyemir sepatu lars tiap pagi.
Roda-roda truk terlihat berjejer dari ujung gapura hingga kantin komplek. Yu Djum, penjual pecel kantin ikut terheran-heran melihat kejadian tak biasa ini.
Sudah 3 tahun
berlalu semenjak suaminya meninggal di Tim-Tim, Yu Djum tak pernah melihat batalyon
mengerahkan kekuatan maksimal.
“Sersan
Daslan, ada apa toh? Kok nggak seperti biasanya kalau mau satgas. Setelannya
kok biasa, kaya mau latihan menembak, tapi kok semua kompi dikerahkan?”
“Alah
mbuh Yu, aku yo nggak tau. Lha wong saya ini cuman Sersan, adanya siap terima
perintah!”
“Ayo
lan, cepat kamu!” bentak Kapten Mur, Komandan Kompi Daslan.
Apel
singkat dimulai. Kira-kira hanya 15 menit sudah usai, segera truk-truk berjejer
itu keluar membentuk konvoi panjang. Di ujungnya sudah ada motor Polisi Militer
mengawal. Konvoi itu bergerak masuk kota.
“Ijin
sersan, kira-kira kita ini diperintah kemana?” ucap anak buah Daslan.
“Kok
sepertinya anti huru-hara, tapi gak bawa tameng dan helm kan?”
“Iya
sersan, kok malah bawa M16. Magasin juga full!”
Tak lama berselang, konvoi berhenti mendadak. Perjalanan dilanjutkan berjalan. Dari kejauhan kepulan asap sudah membumbung di kota.
Banyak serdadu bertanya-tanya
untuk apa mereka dikirimkan. Lewat jembatan utama, maka segalanya terjawab. Lautan
manusia sedang menduduki Gedung Dewan.
Mendengar
derap langkah serdadu se-batalyon, lautan manusia itu sedikit membuka jalan
sembari gugup. Segera peleton demi peleton berlarian membubarkan paksa massa
yang berkerumun. Sebagian menebaskan tongkat kecil, sebagian lain menembak ke
udara untuk peringatan.
Dan
brukkkk.....
Rubuh satu persatu orang. Sipil, militer, apapun dan siapapun mereka. Sebagian mobil palang merah juga hancur dirusak massa. Jalanan kota bagaikan medan perang Bharata Yudha. Tubuh-tubuh bergelimpangan. Sampai senja tiba, masih saja terdengar suara pelor 5.56mm.
Adzan maghrib sedikit meredakan hiruk pikuk. Walau erangan kesakitan
dan teriakan masih terdengar dari tenda-tenda penampungan korban.
Daslan terengah-engah mencari batalyon-nya yang tercecer. Magasin M16-nya jatuh entah kemana, padahal setelah ini harus lapor ke seksi logistik. Wajahnya sudah komat-kamit, darah juga menjadi pemandangan lazim.
Dari kejauhan tampak lampu
panser mengerdipkan sandi morse. Daslan berlari menuju arahnya. Sampai di dekat
panser, rupanya itu dari korps sebelah. Mereka bukan infantri yang bertugas
menghalau massa, mereka ini kavaleri yang memblokade jalur.
“Oii
sersan, dari mana kau?!” tanya seorang Letnan dari atas palka panser.
“Ijin
bapak, saya Daslan, Sersan Satu. Batalyon 101 Lintas Udara.”
“Owh,
infantri ya? Teman-temanmu sudah dibawa ke Batalyon Kesehatan. Kebanyakan
terselamatkan. Sebagian lain dievakuasi oleh Marinir memakai helikopter dari
blok-blok kota. Beruntung anda bisa bergerak kesini, mari nikmati ransum dan
kopi.”
Asap
tembakau mengepul. Baret hijau dilepaskan dari kepala Daslan, pusing karena
kekecilan. Ia duduk di belakang ban serep mobil komando. Mengernyitkan dahi
sembari merenungkan apa yang barusan terjadi.
“Ada
apa ini. Kok ibukota bisa amburadul nggak karuan begini. Mayat dan darah
seperti di Tim-Tim dulu. Ah, sudahlah jangan ku ingat-ingat. Daripada menua
PTSD, dan meringkuk di RSJ.” batin Daslan.
Beranjak
dari istirahatnya, Ia segera meminta ijin untuk mencari induk batalyon.
Berjalan dari setiap blok kota, dari satu kecamatan ke kecamatan lain.
Sepanjang perjalanan, rupanya banyak juga batalyon infantri lain yang
kepayahan. Sesekali Ia juga bertemu kawan lettingnya dan bertanya mengenai
tanda-tanda posisi induk batalyon.
Petunjuk itu mengarah ke sebuah lapangan di belakang sungai. Ia masih siaga dengan M16 saat berjalan. Meski tanpa magasin, setidaknya orang agak gentar melihatnya. Daslan sendiri masih agak ragu mengenai petunjuk yang diberikan. Tapi sebagai seorang tentara, tentu sekali layar terkembang, surut untuk berpantang.
Ia berenang
menyeberang sungai yang bau banger dan agak anyir. Tanpa ragu, Daslan sendiri
sudah terbiasa berkotor-kotor sejak pendidikan dasar. Ia menarik sebuah
tambatan kecil untuk naik dari tanggul. Ya, sedikit ilmu halang rintang berguna
juga disini.
Ia pun tiba di kampung seberang sungai. Dua kaki bergerak menuju lapangan yang dimaksud. Betapa kagetnya Ia melihat tenda-tenda peleton itu sudah kosong tanpa isi. Hanya ada satu box amunisi dan sebuah koper mesin tik yang menganga disana.
Box amunisi itu hanya berisi data logistik yang sudah tersalurkan. Dari
sana Ia mendapat kode aneh bertuliskan BCL. Tentu saja ini bukan inisial artis
cantik itu. Koper mesin tik itu juga turut di obrak-abrik Daslan untuk mencari
tahu kode lain.
“Baret,
Cerutu, dan Lars. BCL!”
Ya
memang itulah kepanjangan kode-nya. Daslan sedikit bingung. Baret, adalah topi
yang identik dengan gaya militer. Umumnya menjadi ciri khas sebuah kesatuan.
Dipakai oleh semua personel kesatuan, dan berwarna seragam. Baret memiliki
emblem di ujung kiri, bila miring ke kanan. Nah, kanan! Arah baret ketika
dipakai.
Lalu
cerutu. Ini hanya dimiliki oleh kalangan perwira. Bintara seperti Daslan, hanya
rokok filter biasa yang sering ditemui di toko-toko kelontong. Tentu bila
cerutu dinyalakan maka asap membumbung dari hasil pembakaran. Aha, Asap!. Ya
pasti itu maksud kode kedua.
Yang
terakhir adalah lars. Mengapa perwira memakai kata lars, padahal sebutan
umumnya adalah sepatu PDL? Ini aneh. Daslan sudah buntu menemui kode terakhir
ini. Hari juga sudah hampir tengah malam. Anehnya lagi, desa di dekat lapangan
ini juga tidak ada tanda-tanda kehidupan. Hanya Daslan sendiri termenung di
bawa tenda peleton.
“Aku
pikir akan lebih baik kalau tidur dulu.”
Pagi
menyambut dan terang sinar matahari cukup mengganggu mata terpejam Daslan. Ia
bangun, dan segera waspada setelah semalaman begitu nyenyak tertidur. Namun
memang desa dekat situ sepi sekali, jadi semua benda sekitar Daslan aman.
“Gubrakkk,
klonthanggg!!!!” suara keras dari sudut rumah.
Daslan
langsung ambil posisi menembak, meski M16-nya tanpa magasin. Agak lucu, tapi
mau bagaimana lagi.
“Siapa
disana! Keluar!”
“Kilat!”
teriak pria misterius dari rumah itu.
Daslan
bingung bukan main. “Kilat” adalah sandi bagi Batalyon 201 Jaladri, kesatuan
awalnya dulu ketika masih berpangkat prajurit.
“Petir!”
balas Daslan.
Segera,
keluarlah seorang pria bertubuh kurus. Sembari menenteng M16, beranjak dari
tempat persembunyiannya. Ia hanya berpakaian hijau polos, dan celana loreng.
Tak lupa kalung dogtag juga masih
berayun dari lehernya.
“Loh,
Daslan? Ini aku, Rudi, Kopral Dua! Hahahahaha!!!!”
“Hah?!
Rudi, betul itu kau? Kurus sekali!”
“Sudah
tentu, aku hampir 2 hari tak makan nasi. Tercecer dari batalyonku”
Betapa
bahagianya Daslan bertemu kawan seperjuangan dulu. Rudi, seorang junior yang
cakap dalam hal senjata berat. Daslan berhutang budi padanya saat di Tim-Tim. Ketika
regu Daslan disergap Fretilin, tembakan senjata berat Rudi tiba dengan tepat
dan menyelamatkannya dari sergapan Fretilin.
Kini
hanya tinggal misteri kode “lars”. Daslan mengajak Rudi berunding memecahkan
kode terakhir.
“Lars
itu umumnya warna hitam bukan?”
“Iya
tentu lah, kamu kira Kopral kaya saya gak pernah nyemir!?”
“Bukan
itu Rud, ini berarti memang itu maksudnya!”
“Baret,
Cerutu, dan Lars. Ke kanan, asap membumbung, warna hitam?”
“Nah,
iya! Pintar juga kamu Rud!”
“Iya
dong, bulan depan aku sudah waktunya Setukba (Sekolah Pembentukan Bintara).Hahahahaha!”
Daslan
dan Rudi menoleh ke kanan tenda. Benar saja, asap mengepul hitam berjarak
sekitar 5 kilometer. Daslan dan Rudi senang bukan main. Bila sudah sampai di
induk, tentu mudah saja untuk bertanya posisi basis. Mereka segera bergerak dan
terkadang berlari kecil.
“Hanya
45 menit. Sialan, kaki infantri memang berbeda.”
“Kita
ini kan sama-sama infantri Das, wajar kalau cepat.”
“Ada
apa ini, darimana kalian!?” ucap seorang Mayor.
“Ijin
bapak, kami berdua tersesat dan terpisah dari batalyon sudah hampir 3 hari.”
“Ya
betul. Saya dari Batalyon 201, dia dari 101.”
Mayor
itu ternganga heran. Ia memanggil ajudan untuk mengambilkan berkas data
personel. Daslan dan Rudi masih dalam posisi siap, seperti sikap bawahan pada
umumnya bila bertemu perwira.
“Saya
Mayor Harlan, Komandan Batalyon Kesehatan. Data 201 dan 101 sudah dikembalikan
ke Mabes. Batalyon kalian sudah ditarik mundur kembali ke markas sejak 2 hari
lalu.”
“Sialan,
telat sehari” batin Rudi.
“Baiklah
pak, ijin saran agar kami bisa kembali”
“Ikut
saja truk logistik, itu searah ke markas anda. Untuk 201, pergilah ke terminal berpakaian sipil,
pulang ke provinsi sebelah”
Daslan
malah pusing tujuh keliling. Magasin yang hilang bisa jadi kena semprit, padahal
Ia harus numpang truk seksi logistik. Rudi apalagi, potongan cepak akan
membuatnya terancam dimassa kalau ketahuan.
“Sialan,
gara-gara BCL!” gerutu Daslan dan Rudi.